Bahagia tapi Miskin, Maluku Butuh Pemimpin yang Berani dan Bernyali



Sumber:Fransiskus Pati Herin/kompaspedia.kompas.id

GAMGADO.COM-Provinsi Maluku selalu menduduki peringkat teratas sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan kemiskinan di Indonesia pada September 2022 mencapai 9,57 persen atau naik 0,03 persen dibandingkan dengan periode Maret 2022. Selain itu, diketahui jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta dari Maret 2022.
 
Empat posisi teratas diduduki oleh provinsi-provinsi di Indonesia Timur salah satunya Maluku yang berada di posisi nomor 4. Persentase penduduk miskin di Maluku naik menjadi 16,23 persen pada September 2022, berbanding dengan 15,97 persen pada Maret 2022.

Pasti banyak penduduk di Maluku bakal protes kenapa sih setiap tahunnya provinsi Maluku selalu saja berada di posisi keempat termiskin.

Padahal, kekayaan alam kita banyak, jarang lihat ada pengemis-pengemis atau orang minta-minta. Selain itu, kalau bicara soal makan dan minum, alam kita semua menyediakan.

Potensi laut dan hutan di Maluku berlimpah, kekayaan alam lainnya juga banyak ditemui. Lantas, kenapa masih juga disebut provinsi termiskin?

Anehnya lagi, walaupun di posisi nomor 4 termiskin di Indonesia, fakta lain menunjukkan Maluku merupakan provinsi dengan tingkat bahagia paling tinggi.

Maluku berada di peringkat ketiga dalam daftar provinsi paling bahagia di Indonesia, dengan Indeks Kebahagiaan 76,28. Provinsi ini juga merupakan salah satu daerah penghasil rempah-rempah terbesar di tanah air.

Pertanyaannya, apakah masyarakat sudah begitu menerima kemiskinan yang ada dan tetap bersyukur serta bahagia?

Pasti banyak yang berpikir mana ada orang miskin bahagia? Makan dan minum saja tidak terpenuhi, kesenjangan sosial terjadi.

Di Maluku sendiri, akses jalan belum begitu merata. Pembangunan belum benar-benar menyentuh masyarakat.

Di pelosok-pelosok masih banyak akses jalan, pendidikan dan kesehatan yang tidak terpenuhi. Konflik sosial terjadi di mana-mana, hampir tiap tahun ada saja yang terjadi.

Tapi kok bisa masyarakat Maluku tetap saja bahagia? Padahal, Indeks Kebahagiaan didasarkan pada tiga aspek utama, yaitu (a) tingkat kepuasan hidup, (b) kadar perasaan (affect) dan (c) arti hidup (eudaimonia).

Seakan antara tingkat kemiskinan dan indeks kebahagiaan bertolak belakang, namun seperti itulah fakta di lapangan.

Mungkin benar kata pepatah "Bahagia bukan milik mereka yang memiliki segalanya, tapi mereka yang bersyukur memiliki hal yang tidak bisa dibeli dengan uang".

Namun bagi saya, tentu  tidak ada yang bakal bahagia jika kondisi kemiskinan yang terjadi terus-terusan meningkat.

Coba bayangkan, mau ke rumah sakit saja harus menempuh jarak puluhan kilometer dengan melewati akses jalan yang rusak parah dan belum terjamah.

Mau mencari lapangan pekerjaan saja susah, akses pendidikan yang sulit ditambah lagi konflik dan pertikaian antara kelompok masyarakat terus-terusan terjadi. Apakah ini akan membuatmu tetap bahagia?

Kembali ke pertanyaan awal, kenapa Maluku miskin?

Kalau saja Maluku ditakdirkan miskin sumber daya, maka wajar kita menerima kenyataan yang ada untuk menerima kondisi ini sebagai akibat dari keterbatasan sumber daya.

Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa Maluku tidak pernah kehabisan sumber daya alam. Sehingga, tidak adil jika Maluku terpuruk sebagaimana saat ini.

Oleh karena itu, ketika ada kemiskinan yang terjadi di atas tanah yang berlimpah dengan sumber daya alam di seluruh dunia, itu menunjukkan adanya ketidakadilan yang luar biasa.

Eksploitasi akan kekayaan alam kita oleh pusat membuat kita terus-terusan hidup miskin seperti ini. Bayangkan saja, laut kita yang melimpah namun kita tidak dapat apa-apa.

Karena hingga saat ini perairan Maluku hanya dijadikan wilayah tangkap kemudian ikan langsung dibawa ke daerah lain untuk nantinya dikirim ke luar negeri.

Seakan Maluku hanya jadi objek. Padahal sebagian besar ikan dari Maluku ini menjadi pemasok pasar ikan internasional.

Data BPS 2019 menunjukkan hanya 0,8 persen nilai ekspor non migas di Maluku. Jadi, ikan dari Maluku tidak langsung diekspor dari Maluku, namun dari tempat lain. Kalau saja Maluku dapat bagian yang adil dari hasil tangkap ikan di perairan Maluku, maka kita tidak bakal terpuruk seperti ini.

Bayangkan saja hingga saat ini soal pembangunan Ambon New Port dan Lumbung Ikan Nasional di Maluku belum ada kejelasannya.

Jika Ambon New Port dan LIN bisa diwujudkan di Maluku, maka tingkat perekonomian masyarakat akan meningkat dan sumberdaya perikanan di Maluku bakal lebih berkembang pesat.

Seakan negara hanya datang mengambil dan merampas kekayaan alam kita, namun mengembalikan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat Maluku saja tidak ada.

Bayangkan saja,  APBD Maluku yang diberikan oleh negara hanya dihitung luas daratan saja. Ini sungguh tidak adil. Laut kita ini luas, lalu kenapa hanya daratan yang dihitung?

Negara harus meluncurkan dana yang besar untuk Maluku agar bisa fokus dalam mengelola laut dan sumberdaya yang ada dengan tujuan untuk dapat keluar dari kemiskinan.

Lantas sampai kapan kita seperti begini? Apa yang kira-kira harus dilakukan? Kuncinya satu, yaitu Maluku harus punya pemimpin atau Gubernur yang berani dan bernyali.

Jangan sampai pemimpin yang hanya omong doang, tapi tak berani melawan pemerintah pusat atau malah takut dan ciut nyalinya ketika berhadapan dengan pemerintah pusat dan para cukong.

Pemimpin kita harus berani dan bernyali seperti Pattimura atau Marta Christina Tiahau  yang mampu melawan para penjajah.

Nyali dan keberanian pemimpin harus sama seperti karakter orang Maluku yang tidak takut siapapun. Istilahnya, kalau mau mandi darah ya mari mandi darah, daripada harga diri jatuh. Itu prinsip orang Maluku.

Maka dari itu, pemimpin kita juga demikian, harus mampu menggoyang pemerintah pusat supaya mau peduli terhadap negeri ini.

Dia harus mampu menyuarakan ketimpangan yang ada di Maluku demi rakyat. Apapun akan dilakukan termasuk jabatan dan nyawa yang harus dipertaruhkan.

Coba saja kalo berani ketika pemerintah pusat tidak mau membangun LIN di Maluku dan tidak memberikan APBD yang sesuai, maka boikot Blok Masela dan larang beroperasi.

Jangan harta kita yang dirampas terus menerus, kita juga punya hak untuk mendapatkan kekayaan yang kita miliki. Biar perlu, pemimpin menantang untuk lepas dari NKRI biar pusat melirik Maluku. Mungkin agak sedikit ekstrim, namun negara baru peduli kalau kita sedikit ekstrim dalam bersuara.

Kita telah bersama negara ini sejak merdeka. Delapan provinsi awal kemerdekaan Indonesia salah satunya itu Maluku. Namun, soal nasib kita masih dianaktirikan. Jadi, apa salahnya jika kita lebih keras bersuara agar dipedulikan.

Terakhir, soal konflik yang sering kali terjadi di Negeri-Negeri di Maluku, kalau gubernur tidak punya nyali dan berani nanti konflik akan terus terjadi.

Penyebab konflik dan kondisi Maluku yang rawan seperti ini membuat para investor ogah masuk ke Maluku. Maka dari itu, Maluku harus punya pemimpin yang mampu merangkul dan menyatukan masyarakat Maluku agar tidak ada lagi permasalahan tersebut.

Maluku harus aman, damai dan sejahtera. Semua itu bisa diwujudkan salah satunya kalau kita punya gubernur yang berani ambil resiko dan bernyali.

Lalu, siapa sosok tersebut?
Mari berpendapat di kolom komentar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak