Sisi Gelap Organisasi Ekstra Kampus: Polarisasi dan Intoleransi Berkembang dan Tumbuh Sumbur di Sini?

 

Sumber: Edit by Canva

GAMGADO.COM-Tulisan kali ini bukan untuk menjelekkan organisasi eksternal kampus, namun ingin menjadi bahan intropeksi bagi kita mahasiswa.

Kalau mahasiswa sering kali mengkritisi kebijakan pemerintah atau kampus, maka tak salah tulisan ini akan menjadi auto kritik untuk mahasiswa dari mahasiswa terkait organisasi ekstra kampus.

Tentu sebagai mahasiswa kita sudah tak asing lagi mendengar organisasi ekstra kampus.

Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) adalah kelompok yang tidak terikat oleh struktur kampus. Secara sederhana, OMEK merupakan organisasi yang tidak didirikan oleh universitas, tetapi berdiri sendiri dengan jaringan anggota yang luas.

Dalam artikel kali ini akan mengupas terkait sisi gelap organisasi ekstra kampus. Mahasiswa dibekali dengan kemampuan untuk menganalisis dan mengatasi berbagai masalah melalui pendidikan di perguruan tinggi, seperti UKM, organisasi internal dan menjadi relawan.

Namun, mahasiswa juga dapat mengasah kemampuan mereka melalui berbagai organisasi ekstra kampus yang mengadakan kaderisasi untuk menjadi pemimpin yang dapat bermanfaat di internal kampus dan di masyarakat. Melalui kaderisasi, banyak jebolan OKP yang kemudian menjadi tokoh politik. Sehingga tidak ada salahnya, jika masyarakat umum mengaitkan keberadaan OKP dengan politik praktis.

Para mahasiswa yang mengikuti organisasi esktra kampus sering kali digambarkan dengan orang-orang yang kritis, namun di balik itu semua ada tersimpan fanatisme yang mendarah daging dalam diri mereka.

Seharusnya, organisasi eksternal menjadi wadah untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan melawan intoleransi. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan organisasi eksternal malah menjadi ladang yang subur untuk terjadinya polarisasi antar mahasiswa dan berkembangnya sikap intoleransi di kalangan mahasiswa.

Hm, kok bisa?

Begini loh penjelasannya. Eksistensi organisasi eksternal itu terlihat hebat ketika kadernya dapat menguasai kedudukan di organisasi intra kampus.

Ini bukan lagi menjadi rahasia umum. Mulai dari posisi senat mahasiswa, badan eksekutif, unit kegiatan mahasiswa, himpunan jurusan, himpunan program studi hingga ketua angkatan akan menjadi ajang kompetisi para kader mahasiswa yang berada di organisasi ekstra kampus.

Seakan mereka yang ada di organisasi ekstra paling paham organisasi dibandingkan mahasiswa lain. Makanya, ambisi mereka pun harus dituntaskan dengan menduduki posisi-posisi ini.

Akibatnya, persaingan antara organisasi eksternal A, B, C dan D begitu nampak terlihat. Saling sikut, adu urat leher hingga berujung pada adu otot dan membuat keonaran jika keinginan mereka tidak terwujud. 

Berbagai cara akan dilakukan untuk menguasai posisi-posisi strategis tersebut. Jadi tak heran jika saat sidang umum mahasiswa atau pemilu raya, sering kali lempar kursi dan terjadi kekacauan.

Akibat perebutan kekuasaan dan kedudukan di kampus, hal inilah yang membuat organisasi eksternal menjadi tidak serial lagi. Mereka pun menyusupi mahasiswa lain dengan pandangan intoleran mereka.

Harus pilih pemimpin yang beragama minoritas, jangan pilih pemimpin yang agama mayoritas. Harus pilih pemimpin dari suku ini, jangan pilih pemimpin dari suku itu.

Begitulah yang kemudian terjadi. Masing-masing kader saling serang, akibatnya terjadi polarisasi dalam tubuh mahasiswa.

Sebenarnya, sah-sah saja bila organisasi ekternal itu sebagai wadah pengkaderan seorang calon pemimpin. Namun, cara-caranya harus lebih mengedepankan sikap yang intelektual.

Akibat cara yang diterapkan salah, akhirnya intoleransi pun tumbuh subur. Bayangkan, mahasiswa yang satu agama namun beda organisasi kampus saja akan saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengkafir-kafirkan.

Fanatisme pada organisasi ekstra kampus membentuk sikap intoleransi pada mahasiswa dalam hubungan sosialnya. Akibatnya, mereka akan membatasi interaksi hanya kepada kelompok mereka saja.

Alih-alih mau toleran, berbeda organisasi dan pandangan saja telah dibuat jadi sebuah persoalan di kalangan mahasiswa.

Bahkan setiap orang yang punya pandangan berbeda dengan satu kelompok akan dianggap berbeda dan mereka yang berada dalam organisasi eksternal A akan merasa paling baik dan benar dibandingkan dengan organisasi B,C,D dan E.

Selain itu, polarisasi kerap terjadi dalam tubuh satu organisasi yang sama kemudian terpecah menjadi beberapa bagian. Akibatnya saat ini, banyak sekali timbulnya dualisme, tigalisme dan bahkan empatlisme kepemimpinan dalam satu organisasi eksternal kampus.

Itulah hasil dari sifat tidak mau mengalah dan merasa paling benar. Begitulah potret suram dan sisi gelap organisasi ekstra kampus yang seharusnya jadi garda terdepan dalam perubahan malah dijadikan tempat tumbuh suburnya polarisasi dan intoleransi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak